Selasa, 15 November 2011

Wanna Give Up :-(

Dzulhijjah, 20 1432 H.

Aku kembali sejenak.. tapi dalam keadaan tak berpijar. Sama sekali,tak ada setitik cahaya putih yg kutemukan sekarang. Yang kulihat hanya lorong senyap yang gelap dihadapanku. Itukah yg disuguhkan? Itukah gerbang awal yg musti kulalui?

Aku sulit mengartikan definisi semangat.. Sulit sekali mencerna kata 'bangkit'..
Kau tau kawan, rasanya di kepala ini . . . tak terperikan menjabarkannya.
Aku sendiri bingung.. apalagi kalian?

Aku sekarang butuh jawaban... bukan pertanyaan !
Jangan menanyaiku tentang apapun... Karena bagiku, pertanyaan dari 'mereka' yg tak mengerti aku adalah jadam terpahit. Duri tersakit.

Pertanyaan yg menghunjam . . . Tolong, menjauhlah dariku. Bukan kau yg kucari,tp sebuah jawaban.

Aku lelah yaa Robbi... sangat2 lelah...

Aku tak ingin dan tak pernah bermaksud membuat 2 matahariku kehilangan senyum kebanggaannya. Yang mana senyum2 itu adalah semangat terbesarku.

Aku ingin bertemu dengan 'pesuruh' Robb-ku tuk mengambil jiwa ini . . . Kudengar,sedikit sakit... Bagiku tak apa sakit sebentar setelah itu tak akan lagi merasakan sakit.

Setelah kulontarkan kata2 itu, kalian pasti memarahiku. . . Bisa kutebak,bahkan mungkin ada yg blg itu kalimat orang yg putus asa.
Kalian tau, apa putus asa itu?

Adalah perasaan dimana saat kalian terhempas,terpuruh,bahkan tersungkur oleh suatu peristiwa yg familiar dengan cobaan hidup lalu muncul dorongan tuk bangkit lebih kuat,lalu kalian bangkit dengan semangat yg berkobar. Tapi setelah itu..kalian dihempaskan kembali oleh takdir,begitu seterusnya.
Perasaan lelah yg muncul... tak terbendungkan. Lelah menyeka titik2 air di sudut mata,atau sejenisnya.

Sejatinya,dari lubuk yg terdalam aku sadar,bahwa Robb-ku tak suka aku yg seperti ini.. Bahkan telah di firmankan-Nya.. "Wa laa taiasuu..."
Namun inilah aku...

Tenanglah kawan,aku tak apa.. Sure,hanya ingin rehat sejenak. Yg sering kulakukan saat2 seperti ini adalah aku sering membaca beberapa kutipan kalimat dr sebuah novel. Daun yg Jatuh Tak Pernah Membenci Angin.

“Tania, kehidupan harus berlanjut. Ketika kau kehilangan semangat, ingatlah kata-kataku dulu. Kehidupan ini seperti daun yang jatuh... Biarkanlah angin yang menerbangkannya...” (70)
“Dalam urusan perasaan, di mana-mana orang jauh lebih pandai ‘menulis’ dan ‘bercerita’ dibandingkan saat ‘praktik’ di lapangan. (174)
“Daun yang jatuh tak pernah membenci angin. Bahwa hidup harus menerima... penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti... pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami... pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Tak ada yang perlu disesali. Tak ada yang perlu ditakuti. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawanya pergi entah ke mana. Dan kami akan mengerti, kami akan memahami... dan kami akan menerima” (197)
“Lebih baik menunggu. Kau tidak ingin terjebak oleh kebaikan itu sendiri. Ada banyak kebaikan yang justru berbalik menikam, menyakitkan pemberinya.” (213)
“Pria selalu punya ruang tersembunyi di hatinya. Tak ada yang tahu, bahkan percayakah kau, ruang sekecil itu jauh lebih absurd daripada seorang wanita terabsurd sekalipun.” (213)
“Dia memandang lamat-lamat sepotong kehidupan itu. Menjahitnya. Membuat pakaian masa depan yang rapuh dari semua masa lalu yang getas" (221).
“Orang yang memendam perasaan sering kali terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk merangkai semua kejadian di sekitarnya untuk membenarkan hatinya berharap. Sibuk menghubungkan banyak hal agar hatinya senang menimbun mimpi. Sehingga suatu ketika dia tidak tahu lagi mana simpul yang nyata dan mana simpul yang dusta" (227).





Tidak ada komentar:

Posting Komentar